Apabila kita coba menangkap dan menganalisis secara sederhana mengenai para perantau dari berbagai kota di Jawa dan sekitarnya, kita akan menemui beberapa kenyataan bahwa banyak orang yang merantau untuk berbisnis di luar daerahnya. Misalnya, orang Madura, kita akan langsung mengenalnya sebagai pedagang sate ayam Madura, potong rambut Madura, dan lain-lain. kemudian ada lagi orang Padang dengan berbagai masakan pedasnya yang disajikan dalam rumah makan Padang yang tersebar di hampir seluruh kota Indonesia. Warung lesehan seperti tempe penyet, ayam bakar, pecel lele, bebek goreng yang biasanya dimiliki orang Lamongan. Roti bakar, martabak, terang bulan yang dijual dengan gerobak di pinggir jalan awalnya dibawa oleh para perantau dari kota Bandung. Terus masih banyak lagi kalau kita coba untuk mengupasnya lebih lanjut.
Para perantau yang berbisnis atau berdagang ini menjual makanan atau produk yang khas dari daerahnya masing-masing. Bahkan karena dinilai oleh banyak orang sebagai bisnis yang menjanjikan dan peluangnya menggiurkan, tidak sedikit pula orang lokal tak malu-malu ikut memasarkan produk-produk tersebut dengan memasang label sebagai makanan khas atau asli daerah tersebut.
Kenyataan ini memang tak hanya adanya produk yang khas, tapi juga adanya komitmen (rasa memiliki) dari para perantau untuk mencantumkan nama kota asal mereka dalam bisnisnya. Dengan nama kota asal itu, paling tidak akan menjadi nilai lebih dan citra berbeda dengan daerah lain.
Dalam pengamatan saya, perantau dari kota Rembang yang mempunyai produk potensial yang cukup banyak ternyata belum mampu memanfaatkan keunikan produk dari daerah asalnya. Sepertinya mereka masih malu-malu atau takut gagal untuk mencoba menjualnya di pasar luar daerah. Padahal seandainya para perantau dari Rembang mau belajar dari perantau daerah lain dalam berbisnis dan memasarkan produknya, hasilnya tentu akan memiliki nilai tambah tersendiri.
Sepengetahuan saya, belum saya jumpai seorang perantau yang berbisnis atau berdagang dengan memakai citra nama Rembang di kota lain. Misalnya saja Lontong Tuyuhan Rembang, Sate Srepeh Rembang, Sayur Mangut Rembang, Ikan Laut Bakar ala Rembang dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa citra atau rasa memiliki Rembang belum tergarap oleh para perantau di ranah bisnis. Kalaupun ada masih dalam tingkat lokal seperti emping jagung, krupuk ikan, dan sejenisnya. Itupun produk yang hampir sama dengan daerah lain, dengan kata lain masih kurang nilai khasnya.
Tentunya kondisi ini akan lebih baik bila kita mampu mengelola potensi dalam bentuk peluang usaha yang mempunyai nilai lebih. Meskipun demikian, saya juga melihat ada pebisnis lokal kita yang cukup berani dan terbukti berhasil. Seperti membuat sirup kawis dengan mencantumkan nama khas Rembang.
Demikian sedikit tulisan saya yang mencoba mencermati kondisi sosial masyarakat Rembang terutama menyangkut bisnis para perantau Rembang. Saya berharap produk Rembang mampu di pasarkan oleh para perantau ke seluruh Indonesia bahkan dunia, semoga.
Oleh: Rois Ilmi, Pengamat Bisnis Rembang tinggal di Pamotan.
Sumber: Buletin Media Ummat, Edisi 13/Ramadhan 1431/Agustus 2010.
Gambar: http://jumrikarikatur.blogspot.com