Tulisan ini mungkin bisa dianggap telat atau basi karena seharusnya diposting beberapa bulan yang lalu. Namun karena blog ini baru online bulan Juli ini jadi ya nggak papa lah, toh isinya saya kira masih relevan dengan keadaan sekarang dan waktu-waktu mendatang. Sekitar lima bulan yang lalu tepatnya tanggal 12 Maret 2011 diadakan acara Pembacaan Puisi oleh Penyair dari tiga kota. Acara bertema “Membaca Indonesia” itu diselenggarakan di Kampus Unika Soegijapranata, Semarang. Kegiatan hasil kerjasama Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata dan Rumah Budaya Gubug Penceng itu menampilkan tiga penyair dari tiga kota berbeda, yaitu Timur Sinar Suprabana dari Semarang; Sitok Srengege dari Jakarta; dan Gus Mus dari Rembang.
Sebagai Blogger dan warga Rembang, kita patut berbangga mempunyai Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri. Putra Rembang ini selain dikenal sebagai penyair juga merupakan seorang kyai, budayawan, serta cendekiawan. Saat ini Gus Mus masih aktif menjadi pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Tholibin di kota Rembang. Berikut reportase yang coba saya tulis setelah menonton rekaman videonya lewat Youtube.
Dalam acara yang disiarkan secara tunda oleh PRO TV (stasiun televisi lokal Jawa Tengah) itu, Gus Mus yang sudah sepuh tampil dengan gayanya yang khas dan santai mampu menguasai panggung di Gedung Aquinas. Bahkan sebelum membacakan puisinya, beliau sempat berkelakar bahwa dia bukan penyair beneran dan puisinya hanya syair-syairan. Pada kesempatan itu, Gus Mus membacakan beberapa puisinya termasuk puisi berjudul “Negeriku” yang ditulis 20 tahun yang lalu tapi isinya masih sesuai untuk menggambarkan keadaan negeri dan bangsa Indonesia sekarang.
Para penonton dibuat tersenyum dan tertawa mendengar lirik puisi Gus Mus yang sarat kritik tetapi berupa sentilan dan sindiran terhadap keadaan yang terjadi di negeri ini. Puisi “Di Negeri Amplop” menceritakan budaya ‘amplop’ (suap-menyuap) yang telah menjangkiti apa dan siapa saja di negeri kita tercinta ini. Di tengah jeda, Gus Mus kembali berseloroh bahwa kalau dianalogikan, Sitok dan Timur merupakan dokter yang biasa memberi resep untuk ditukar di apotek sedangkan dia adalah dukun sehingga puisi-puisinya dinamakan puisi balsem, yang mendengarkan bisa tercerahkan sebentar kemudian pening kembali. Guyonan ini pun disambut tertawa gerr… oleh penonton.
Gus Mus mengajak penonton daripada berpusing-pusing membaca Indonesia, saat ini lebih baik kita menghibur diri saja. Gus Mus seolah-olah mengajak kita menertawakan diri kita sendiri melalui puisi yang judulnya “Negeri Haha Hihi” dimana kita mempunyai pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli terhadap rakyat kecil dan bisanya hanya saling mencaci maki.
Ekspresi Wakil Rais Am Syuriah PBNU sebenarnya biasa, tak seperti penyair lainnya. Namun ketika penonton masih terbawa suasana tawa, Gus Mus secara tiba-tiba mampu membawa suasana iba dan haru dalam puisinya. Penonton seperti dibuat rindu akan Indonesia yang dicita-citakan ketika ia menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dengan lirih dalam puisinya yang terakhir.
Demikian sedikit laporan mengenai acara pembacaan puisi oleh tiga penyair, yang salah satunya berasal dari Rembang yaitu Gus Mus. Kita dapat belajar dari para penyair atau satrawan bagaimana mereka ‘membaca’ realitas Indonesia atau mungkin juga Rembang. Harapannya akan lahir Gus Mus-Gus Mus baru dari Rembang khususnya dari teman-teman Blogger Rembang yang suka menulis puisi. Salam Gerbang.