Saya pernah terpukau dengan koleksi fosil situs purbakala Pati Ayam. Saya pun masih memimpikan suatu saat bisa berkunjung ke situs purbakala Sangiran. Tapi saya tak menyangka sebelumnya bisa melawat sejenak kedua buah situs purbakala lain yang masih bisa dibilang baru. Leran dan Binangun namanya.
Berkat #LasemTrip bersama beberapa teman pejalan, ditemani oleh Mas Pop dari Rembang Heritage Society, saya bisa melawat kedua situs purbakala itu. Saya belum pernah mendengar tentang dua situs itu sebelumnya. Dari cerita Mas Pop lah saya tahu. “Mbak Mei, setelah ini kita berkunjung ke situs Leran dan Binangun ya”, Mas Pop mengajak Mbak Yusmei, salah seorang teman pejalan yang masih tinggal di Lasem, setelah sore itu hampir semua anggota rombongan kami sudah beranjak pulang. Saya yang sebenarnya sudah mau pulang juga, urung. Saya tidak mau melewatkan berkunjung ke situs purbakala itu.
Terletak sekitar 10 km dari kota Lasem, Desa Leran ini sebenarnya sudah masuk ke wilayah Kecamatan Sluke. Pantura Jawa Tengah bagian timur ini bisa dibilang sangat khas karena jalan raya pos yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Willem Daendels pada tahun 1808 ini melewati wilayah Kabupaten Rembang tepat di pinggir pantai utara. Tidak jauh dari jalan raya itulah situs Leran berada.
“Belum ada tengkorak lain yang ditemukan di sini Mas”, Pak Wardiyo, pemilik lahan di situs Leran, menyambut kami. Selain berprofesi sebagai nelayan, Pak Wardiyo juga seorang petani. Sore itu Pak Wardiyo sedang bersih-bersih lahannya. Dari Pak Wardiyo-lah saya tahu kalau jauh sebelum ditemukannya kerangka manusia pada tahun 2010, Pak Wardiyo sering menemukan potongan tulang manusia di sana sejak tahun 2007. Walaupun laporan oleh warga kepada pihak berwajib dilakukan pada 2010, tetapi tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang dibantu Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (FOKMAS) Lasem dan Rembang Heritage Society baru melakukan eskavasi pada 23 November – 2 Desember 2012.
Situs Leran ini berupa daratan di pinggir laut seperti tebing yang memiliki tinggi sekitar 2 – 3 meter di atas permukaan laut. Saya mengikuti Mas Pop turun di pantai. “Di sini saya ikut meng-eskavasi sebuah tengkorak manusia purba”, Mas Pop menjelaskan sambil menunjuk lapisan tanah yang dipenuhi dengan akar tumbuhan yang menjuntai. Bukan hanya tengkorak yang sudah dieskavasi itu saja harta karun di situs Leran ini. Secara kasat mata pun tampak. Mengamati lapisan tanah di Leran ini, beberapa kali saya menemukan penampakan tulang belulang manusia masih terkubur di tanah, berwarna putih mbladus. Saya mengamati bibir pantai. Terlihat benda berwarna gading berbentuk gilig dengan panjang sekitar 15 cm dihempas ombak laut. Saya mengambilnya. Benar dugaan saya, benda itu adalah tulang. Terletak di pinggir laut, situs Leran ini memang rawan abrasi. Pasti sudah banyak peninggalan purba yang terbawa air laut. Pak Wardiyo mengisahkan dulunya bibir pantai ini masih jauh ke arah laut. Ah, sayang sekali, situs yang baru ditemukan ini terancam sirna dikikis air laut.
Tidak lama saya berada di situs Leran. Belum ada satu jam di sana, sudah terkumpul beberapa tulang yang saya perkirakan adalah tulang panggul, tulang kering, dan tulang paha. Selain beberapa tulang itu, saya juga menemukan bermacam potongan peralatan gerabah tembikar seperti keramik dan kuali. Sepertinya memang peradaban besar pernah ada di sini pada masa lalu.
Melihat banyaknya tulang yang berserakan di situs Leran, saya bertanya kepada Pak Wardiyo, apakah di situs ini pernah diketahui sebelumnya ada areal perkuburan. “Saya sejak kecil tinggal di sini tidak pernah tahu ada areal perkuburan. Bahkan ketika saya Tanya ke para tetua di kampung juga tidak pernah ada areal kuburan di sini. Dari dulu ini ya pantai”, Pak Wardiyo menjelaskan. Saat melihat potongan keramik terkubur di lapisan tanah, saya pun teringat dengan kebiasaan orang China yang mengubur harta bendanya bersama jasa ketika meninggal. Mungkinkah pemilik tulang belulang ini adalah nenek moyang yang berasal dari China? Pertanyaan itu menggelitik pikiran saya.
Usai lawatan ke Leran, dalam perjalanan pulang, kami mampir di Binangun. Desa Binangun ini masih masuk dalam wilayah Kecamatan Lasem dan terletak tidak jauh dari Desa Bonang, tempat peristirahatan terakhir salah satu Wali Songo, Sunan Bonang. Kalau di situs Leran hanya bisa melihat cuilan tulang belulang, di situs Binangun ini terdapat kerangka manusia utuh yang terbaring di tanah dan dikelilingi oleh kotak semen dengan penutup kaca tebal. Seperti situs Leran, situs Binangun ini juga berada di pinggir laut. Namun, situs Binangun ini berada sekitar 15 meter di atas permukaan laut, lebih cocok disebut tebing saya kira. Kerangka manusia berjenis kelamin laki-laki ini membujur dari utara ke selatan dan memiliki keunikan di bagian gigi. Bentuk gigi serinya dipasah atau dipangur sehingga berbentuk mirip kuncup bunga melati, bentuk yang acap ditemukan pada manusia jaman Neolitikum. Menurut beberapa referensi yang saya kumpulkan, berdasarkan arah membujurnya kerangka ini, disimpulkan bahwa manusia ini dikuburkan dengan berorientasi pada laut. Nenek moyang terdahulu percaya bahwa manusia yang berasal dari seberang laut akan menuju laut apabila meninggal.
Sejarah mencatat, sepanjang pantai utara memang pernah menjadi jalur migrasi manusia penutur bahasa Austronesia. Sebarannya berawal dari daerah utara, sekitar Taiwan, menuju kepulauan Indonesia, bahkan sampai Australia. Namun kapan dan darimana manusia purba ini sampai ke Pulau Jawa masih menjadi misteri karena Lasem memang kaya akan sejarah dan budaya. Bukan hanya identik dengan budaya batik. Lasem tidak hanya memiliki sejarah tua pecinan. Lasem juga bukan hanya menjadi kota penting penyebaran islam di Pulau Jawa. Tapi jauh sebelum itu, Lasem sudah menjadi tempat dimana peradaban besar pernah ada. Situs Leran dan Binangun ini buktinya.
oleh : Ari Murdiyanto
Sumber: http://buzzerbeezz.wordpress.com
like this dah…
Waah mantap, ternyata satu server sama blog saya 🙂