Sebelum benar-benar berangkat ke Lasem, ekspektasi saya menjelajahinya adalah menjumpai deretan bangunan-bangunan lama, serta beberapa pasang Engkong – Emak yang memilih menua dalam sahaja disana. Namun, siapa nyana jika ternyata yang saya dapatkan jauh lebih banyak dari apa yang saya bayangkan di hari-hari sebelumnya ..
Tak perlu menunggu lama sejak saya menginjakkan kaki di depan Terminal Lasem. Mas Pop – Rembang Heritage Society dan Mas Danang – Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah *keduanya merupakan penggiat heritage movement di Lasem* menyambut saya dan teman-teman dengan sangat hangat. Bukan hanya dengan ucapan selamat datang, namun kami langsung disuguhi serentetan cerita yang membuat saya ternganga ..
Lasem, sebuah kecamatan seluas 45 km2 yang berada di bawah wilayah administratif Kabupaten Rembang ini disebut-sebut layak menyandang istilah Saujana, sebab ia memiliki gabungan pusaka alam *natural heritage* dan pusaka budaya *cultural heritage*. Pada sisi pusaka alam, Lasem memiliki bentang alam yang lengkap, mulai dari laut, pantai, dataran rendah hingga dataran tinggi. Uniknya, pada masing-masing titik tersebut terdapat kegiatan masyarakat yang aktif. Sementara, pada sisi pusaka budaya, Lasem menyimpannya dalam rentang sejarah yang sangat panjang. Penemuan kerangka manusia purba penutur ras Austromelanosid di Desa Plawangan dan Desa Lerang mengawali kisah peradaban Lasem. Situs Plawangan memiliki ciri khas yang sama dengan Situs Anyer dan Situs Gilimanuk, yaitu penguburan menggunakan tempayan. Sementara Situs Lerang diyakini sebagai kuburan purba terbesar di Indonesia ..
Ketika mendengar cerita pertama ini, saya begitu takjub. Telinga tidak berhenti mendengar, tangan tidak berhenti mencatat. Seawal itu kah peradaban yang pernah eksis di Lasem ?!Wow !!
Penuturan Mas Pop dan Mas Danang berlanjut ..
Di penghujung abad 13, sebuah kecemerlangan muncul dari arah Timur : Majapahit. Nah, tidak sedikit pun saya menyangka bahwa Lasem mempunyai keterikatan erat dengan kerajaan yang lahir dari tengah Hutan Tarik tersebut. Medio abad 14, kerajaan kecil yang merupakan pendukung kejayaan Kerajaan Majapahit tumbuh di Lasem, namanya Bhre Lasem ..
Benar-benar ajaib ! Baru sebulan sebelumnya saya menyaksikan sisa-sisa peradaban Majapahit di Trowulan, lalu tiba-tiba dikejutkan dengan adanya keterkaitan antara Majapahit dan Lasem. Bahkan, kalau boleh berseloroh lebay, saya akan berkata,
” Tuhan memang merestui ketertarikan saya pada sejarah, buktinya Dia menjadikan segala sesuatunya berkaitan seperti ini .. “. Hehehe .. 😉
Abad 16, terdapat 2 hal penting dalam catatan sejarah Lasem di sepanjang abad ini ..
Yang pertama, munculnya kompleks perumahan Tionghoa pertama, yaitu di Desa Galangan, tepi Sungai Bagan atau Sungai Lasem. Seperti halnya peradaban yang berkembang di banyak tempat, tepian sungai merupakan salah satu tempat favorit untuk mengembangkan kehidupan, karena aliran sungai memicu aktifitas perdagangan dan transportasi masyarakat ..
Yang kedua, Tejokusumo, Adipati Lasem kala itu, membangun sebuah masjid di Desa Karangturi. Ia tak sendiri, Sam Hwa Smarakandi *oleh masyarakat setempat, dikenal dengan sebutan Mbah Sambu*, seorang India, turut membantu pembangunan tempat ibadah yang masih dapat dijumpai hingga kini : Masjid Jami’ Lasem ..
Bergeser ke tahun 1740-an ..
Di Batavia, terjadi tragedi pembantaian etnis Tionghoa secara besar-besaran, yang dikenal dengan istilah Geger Pecinan. Pada masa itu, VOC memberlakukan politik pengurangan etnis Tionghoa, karena jumlahnya telah melebihi jumlah serdadu VOC. Peristiwa itu memaksa para Tionghoa yang selamat dari serangan VOC untuk keluar dari Batavia. Lasem lah tujuan mereka ..
Etnis Tionghoa pendatang tersebut membangun pemukiman baru di Desa Karangturi ..
Kondisi serupa terulang pada tahun 1830-an, di Ngawi, terjadi pertikaian intern antara etnis Tionghoa dengan penduduk lokal. Kerusuhan tersebut berlatar belakang masalah ketimpangan ekonomi di antara 2 golongan, bersamaan dengan gejolak politik yang terjadi di Cina. Etnis Tionghoa terdesak, mereka pun keluar dari Jawa Timur dan membangun hidup baru di Lasem, tepatnya di Desa Babakan ..
Hmm, ternyata kedatangan etnis Tionghoa di Lasem dan hidup menetap disana terjadi bertahap, pun dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa besar. Lagi-lagi, siapa sangka ? 😉
Selain hal-hal yang telah saya sebutkan diatas, masih ada beberapa sejarah penting negeri ini yang melibatkan Lasem ..
Tentang Candu atau Ophium, yang kala itu pun telah menjadi barang terlarang, meski ironisnya peredarannya di Jawa begitu membabi buta. Lasem merupakan titik masuk utama penyelundupan Candu, selain Semarang, sementara peredarannya terpusat di Magelang dan Parakan. Omah Lawang Amba, milik Kapten Liem, merupakan bukti nyata bahwa Candu marak diselundupkan disini. Rumah yang termasuk jajaran rumah megah pada masa itu, memiliki sebuah lubang berdiameter 3 meter *meski sekarang telah disusutkan menjadi 1 meter saja* yang berujung di tepi Sungai Bagan atau Sungai Lasem. Ya, lubang tersebut merupakan jalan masuk ilegal bagi Candu untuk kemudian diedarkan ke seluruh Pulau Jawa. Sebab itulah Omah Lawang Amba disebut juga Rumah Candu *penamaan ini hanya semacam simbolisasi, karena hampir semua rumah di tepian Sungai Bagan atau Sungai Lasem memiliki lubang Candu* ..
Melompat ke bagian dari sejarah syi’ar Islam di Pulau Jawa, Lasem pun berperan besar ..
Menurut kisah yang dipercaya oleh masyarakat dan penggiat heritage movement di Lasem, Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang bertumbuh disana. Ayahnya bernama Santibadra, Adipati Lasem yang beragama Budha, yang abu jasadnya disemayamkan di Desa Krueng, lereng Gunung Kendil. Memang benar, Santikusuma, nama kecil Sunan Kalijaga, pernah mendalami ajaran Islam di Tuban dan mendapatkan gelar Raden Said. Namun, setelah 19 tahun merantau ke Tuban, Raden Said kembali pulang ke Lasem. Di kampung halaman inilah, ia bertemu Madun Ibrahim atau Sunan Bonang, kepadanya lah Raden Said belajar ilmu ma’rifat. Sementara, lokasi petilasan Sunan Kalijaga masih terus diteliti oleh para penggiat heritage movement di Lasem ..
Sementara, makam dan petilasan Sunan Bonang sendiri berada di Desa Bonang, yang berjarak 5 km dari pusat keramaian Lasem ..
Satu lagi, jangan lupakan Batik Tulis Lasem yang sangat legendaris. Motif dan warna-warni khasnya, merupakan harmonisasi ideal antara budaya Jawa yang klasik dan budaya pendatang yang meriah. Sekarjagad, Gunung Ringgit dan Batik Tiga Negeri adalah sebutan bagi lembaran-lembaran Batik Tulis Lasem. Indah, maka jangan heran jika harganya pun “indah” .. 😉
Subhanallah ..
Saya hanya bisa berdecak kagum pada realitas yang ada. Berkali-kali terlontar celetukan tak sadar,
” Ternyata .. Ternyata .. “, sebab banyak hal tak terduga yang saya dapati. Berdasarkan seluruh kisah rangkaian sejarah yang saya dengar dan semua hal yang saya saksikan, maka ijinkan saya menyimpulkan bahwa pusaka budaya Lasem terbangun dari 3 kekuatan besar, yaitu :
1. Peradaban Cina
2. Peradaban Jawa Pribumi
3. Peradaban Islam
Inilah linimasa peradaban agung Lasem, dipenuhi kisah tak terduga dan disesaki situs-situs tak tersangka-sangka. Satu pertanyaan besar yang menggantung di benak saya, mengapa Lasem tak terjamah di deretan sejarah Nusantara ?
Ah, Lasem tetap menggeliat dan bertumbuh besar, meski tetap sunyi, sederhana dan terabaikan dari keriuhan jalur utama Jawa bernama Pantura. Mari peduli, Kawan .. 😉
Oleh: Noerazhka (http://www.noerazhka.com)