Inikah Alun-Alun Kita?

Subuh itu terasa begitu berat, lebih berat dari biasanya. Karena aku baru bisa merebahkan tubuhku jam 2 dini hari. Dalam benakku alangkah nikmatnya jika kembali lagi terbuai mimpi. Tapi dengan semangat sebuah janji, rasa malas itu harus segera pergi.

Pukul 5 pagi aku telah sampai di Alun-Alun Kota Rembang, lebih awal 15 menit dari waktu yang dijanjikan. Sengaja memang, untuk menghindari polisi, karena biasanya ada event Car Free Day. Tak tahu kenapa, ternyata Car Free Day itu hari ini tidak ada. Alun-alun pun tampak lebih sepi daripada Minggu pagi biasanya. Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya, “semalem habis ada acara apa tho?”. Kenapa sampah berserakan dimana-mana? Semangatku pun berubah menjadi kecewa. Terlebih orang yang ditunggu tak jua datang, “mending sarapan gado-gado dulu ah…”.

Sambil jeprat sana-jepret sini, ku susuri setiap sudut alun-alun kota tercintaku ini dengan berjalan kaki. “males lari-lari… he…he…he…”.

Sembari menyantap gado-gado, aku mengamati kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di sana. Meski tak seramai biasanya, tapi tetap alun-alun itu tak hanya didominasi oleh kawula muda. Dari bayi yang masih dalam gendongan, anak kecil, hingga orang lanjut usia berkumpul menjadi satu di sebuah lapangan hijau yang luasnya mungkin tak seberapa dibanding Bandara Soekarno Hatta (hahaha… lebay…).

Pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah papan himbauan, yang wujudnya sudah sangat mengenaskan. “Tempat Sampah belum ketemu, kantongi saja dulu!” beitulah isi papan himbauan, yang kayunya sudah mulai lapuk itu.

Selang beberapa saat kemudian, datanglah seorang pahlawan dengan sapu lidi dan ekrak sebagai senjatanya. Dia datang dengan menunggang seekor becak sampah layaknya ksatria yang gagah.

Wahai saudaraku, meski suatu tempat itu mungkin luas bagi kita, seperti: lapangan, sungai, atau sawah, namun bila kita terus-menerus menjejalinya dengan sampah, maka tempat itu akan terasa sempit, membuat kita tidak nyaman, dan banyak efek baik sebara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada diri kita.

Wahai saudaraku, marilah tingkatkan kepedulian kita terhadap lingkungan, setidaknya di lingkungan dimana kita tinggal. Jangan hanya mengandalkan jasa para “pahlawan” yang mungkin tak selamanya dia bisa melayani kita.

Respon (1)

  1. bener mas bro. kemarin tanggal 5 sampai 10 ane juga kebetulan lagi mudik dan singgah sebentar di tanah air ane Rembang, yang ane lihat juga sekarang jarang banget yang make sepeda kaya dulu. Udah jamannya motor kali ya sekarang, ya asal jangan pake ducatti aja, kasihan polisi kalo ngejar g dapet hehe
    ya semoga ada generasi generasi yang peduli lingkungan deh buat kota kita itu, tapi yang terpenting ya dari kitanya sendiri mas bro. Asal jangan kebiasaan nyampah itupun udah bagus banget kok. Berawal dari diri sendiri, berakhir untuk diri sendiri juga dan mungkin orang lain juga haha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *