Mbuh…. begitu sekiranya suasan psikologis Bagong ketika para tetangga ngobrol diangkringan tentang resapel. Resapel kabinet Nuswantara bersatu jilid II. Beberapa menteri diganti, dicobot pot atau cukup digeser. Ndak penting menteri apa yang penting masih menteri. Masih ada kursi basah yang diduduki, masih ada senyam senyum yang bisa dibagi di TV.
“Kita ini kan hanya rakyat, menurut sampeyan semua apa yo resapel ini berdampak pada kehidupan kita?” seru Bagong setelah bersliweran beberapa analisa tentang resapel.
“Weeee… jangan salah, ada efeknya yoooo,” jawaban mereka koor seperti paduan suara. Sontak Bagong kaget bukan kepalang. Tentu sama sekali ndak menyangka mendapat jawaban yang sedemikian bersemangat dan …. ah apa yo?
“Semua gawe besar dalam perpolitikan bangsa ini jelas berpengaruh pada rakyat,” seru Doelkamdi.
“Tul! Mulai dari pilkada, pemilu, pilpres semua berdampak. Apalagi resapel, jelas berdampak!” lanjut Kemat.
“Bahwasanya kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan kedaulatan itu yang….,”
“Halah! nGGedebus! Jangan hanya omong, faktanya mana?” Bagong memotong Kamit.
Tanpa banyak ba bi bu kumpulan orang ini menjawab dengan berbagai fakta.
“Waktu pejabatnya pak kae, kelompok seni, kelompok tani ndesaku dapat bantuan,” kata Doelkamdi
“Pas walikotanya pak itu, mesjid kampungku dapet bantuan,” sahut Kemat.
“Saat pabrik kampung sebelah berdiri, bocah ngganggur di desaku pada dapet kerjaan,” seru Kamit.
“Bentar bentar meski ada alasen logisnya, coba tak tanya satu satu,” potong Bagong. Kemudian melanjutkan.
“Kamu doel, pas pejabatnya pak kae kok kelompok kelompok di desamu bisa dapet bantuan? Ceritanya gimana itu?”
“Oya jelas, kan beliaunya pejabat itu asalnya dari desaku, jadi anak daerah tetep membangun daerahnya to ya,” jawab Doelkamdi mantab.
“Kalo kamu, mat! Kok bisa masjid kampungmu dapat bantuan pas walikotanya itu,” kejar Bagong pada Kemat.
“Oya jelas, kampung ku ini kan basis partai pengusung walikota, jadi beliau tetap harus ngopeni konsituen to ya, “ Kemat tak kalah mantab.
“Lha kalo kamu,mit! Kok bisa pengangguran desamu diajak kerja sama bos pabrik itu,” Bagong beralih ke Kamit.
“Yo mestiii! Di desaku kan tinggal anggota dewan, lha bos pabriknya itu bala-ne anggota dewan cah, yo gampang to ya, bisa diatur,” Kamit lebih mantab.
“Jadi gong! Politik itu penting, mempengaruhi hajat hidup orang buanyak. Jelas resapel ngefek! Tauuuu!” lagi lagi mereka koor persis paduan suara.
Bagong terpekur. Alangkah benar bahwa politik itu penting, mempengaruhi hajat hidup banyak orang. Akan tetapi kalau kesetiaan dalam berpolitik disandarkan pada kepentingan. Dimanakah letak kesetiaan pada negara. Ketika logika kepentingan ini semakin dipupuk dan dihidupkan oleh mereka yang memegang kuasa dengan menjadikan apa yang dimiliki negara sebagai alat bagi penguasa untuk memilah, memilih prioritas anggaran untuk mereka yang setia, untuk konsituen yang loyal. Lantas bagaimana pemerataan yang sesungguhnya akan terwujud. Keadilan sosial? Alangkah jauhnya. Lantas sebenarnya kesetiaan ini nanti pada ujungnya pada siapa? Kelompok, golongan, parpol atau negara?
“Mbuh!” gerutu Bagong. Meski pada akhirnya pedih itu menusuk ulu hatinya.